Muktamar VII KAMMI di Aceh telah dimuka secara resmi oleh Menpora RI. Puluhan perwakilan KAMMI Daerah dan Wilayah se-Indonesia akan terlibat dalam syuro untuk menentukan masa depan KAMMI. Letak Strategis momentum ini adalah pada posisinya untuk menentukan masa depan KAMMI selama 2 tahun ke depan.
Belajar dari Sejarah
Dalam 13 tahun perjalanan KAMMI, setidaknya ada tiga fase sejarah yang menandai perjalanan politik-intelektual gerakan mahasiswa besar ini. Pertama, era gerakan aksi, di mana KAMMI –dalam matan kelahirannya— mentanfidzkan diri sebagai gerakan oposisi terhadap rezim otoriter.
KAMMI menggabungkan dua variabel penting: “mesjid” sebagai arena pembinaan spiritual, dan “kampus” sebagai arena pembinaan intelektual. Perpaduan dua variabel ini, ketika maju sebagai medium transformasi sosial, menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kedua, ra penataan gerakan. Pada titik ini, gerakan aksi bertransformasi menjadi organisasi masyarakat. Artinya, KAMMI melembagakan diri sebagai entitas yang tak terlepas dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Gerakan mulai ditata untuk menjadi gerakan sosial yang mampu berdialektika dengan elemen masyarakat lain. Kendati, terjadi dinamika pergantian kepemimpinan di tengah jalan sebagai simbol transisi.
Ketiga, era gerakan sosial-politik berbas kader. Setelah terlembaga, KAMMI hadir sebagai sebuah kekuatan ekstraparlemen yang melakukan aksi-aksi strategis secara kelembagaan. Demonstrasi menjadi salah satu pilar utama, di samping aktivitas perkaderan yang semakin giat dilakukan.
Ciri khas harakatut-tajnid(organisasi perkaderan) yang bersinergi dengan harakatul-‘amal (organisasi pergerakan) menjadi lambang gerakan ini. Hingga saat ini, dengan pelbagai serba-serbi dan dinamika yang melingkupinya, KAMMI eksis sebagai sebuah gerakan mahasiswa
Namun, ternyata ada satu masalah yang mencuat di KAMMI: problem independensi politik. Pasca-Muktamar Luar Biasa KAMMI tahun 2009 lalu, hal ini memang cukup problematis. Pasalnya, argumen "tidak independen" sempat dijadikan alasan untuk menurunkan Ketua Umum KAMMI yang -pada faktanya- tidak bersesuaian dengan keputusan politik sebuah partai.
Paradigma KAMMI keempat menyatakan bahwa KAMMI adalah Gerakan Politik ekstraparlementer. Akan tetapi, posisi dan kehadirannya yang tak terlepas dari sebuah kekuatan politik yang digiatkan oleh para alumninya menyebabkan KAMMI harus berada dalam posisi dilematis. Mengapa problem ini bisa terjadi?
Ghosob Politik
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua hipotesis. Pertama,krisis konsepsional-metodologi gerakan. KAMMI, yang selama ini men-tanfidz-kan dirinya sebagai gerakan kader, cenderung menjadi gerakan massa yang lebih mengandalkan figur, bukan sistem. Akibatnya, sikap gerakan sering menjadi ijtihad elit perseorangan dan bukan wacana kolektif. Padahal, mekanisme syura yang kolektif-egaliter diatur dalam konstitusi.
Secara internal, sebenarnya bentukan ideologi dan konsepsi gerakan KAMMI sudah cukup paripurna. Prinsip, paradigma, karakter, dan beberapa hal lain sebetulnya sudah dimiliki oleh KAMMI.
Problemnya, metodologi gerakan seringkali menjadi absurd karena KAMMI tidak berpijak pada nilai yang secara legal-formal ada pada dirinya, tetapi justru mengambil metodologi gerakan lain yang sering dikira sebagai “Bapak Angkat” –meminjam istilah Sudaryono Achmad.
Kader KAMMI banyak yang menyamakan KAMMI dengan gerakan dakwah lain yang kini menjelma menjadi partai politik, walaupun sebenarnya dua entitas itu berbeda wilayah operasional. Penyebabnya entah karena tidak percaya diri atau karena ada tekanan dari pihak lain. Ini menjadi persoalan yang cukup serius dalam diri KAMMI.
Kedua, adanya ghoshob politik dan klaim-klaim eksternal. Disadari atau tidak, KAMMI sering menjadi alat politik orang-seorang atau kekuatan politik yang sebenarnya berada di luar KAMMI. Baik itu alumni atau justru mereka yang dekat dengan KAMMI.
Contoh sepele, adanya empat kali pergantian ketua umum di tengah jalan menunjukkan bahwa dinamika kepemimpinan KAMMI ada yang meng-ghoshob dari luar, dengan menanamkan kepentingannya dengan menjungkalkan ketua umum yang dipilih kader KAMMI secara sah. Atau, patronase elit dengan model-model yang kurang demokratis.
Ghoshob politik bisa disebabkan oleh ketidakpiawaian KAMMI bermanuver secara politik hingga terjebak pada pragmatisme persaingan elit, dan bisa juga disebabkan oleh krisis konsepsional-metodologis di atas. Ghoshob rawan terjadi ketika kader KAMMI tidak kritis dalam memandang persoalan yang ada.
Sehingga, menjadi tak mengherankan jika Yudi Latif sampai ber-statement bahwa KAMMI akan turun ke jalan jika eksistensi partai pendukung koalisi digoyang oleh Presiden (Rakyat Merdeka, 4/3). Artinya, banyak yang menganggap KAMMI di-ghoshob kepentingan elit tertentu, padahal kerangka normatifnya tidak demikian.
Ghoshob politik, atau dijadikannya KAMMI sebagai alat politik golongan tertentu, bukan hanya akan mengorbankan pijakan nilai yang ada dalam KAMMI, tetapi juga mengerdilkan peran gerakan. Tentu ini harus dibersihkan dengan menegaskan daulat KAMMI: bahwa KAMMI berpatron pada ideologi dan konstitusi, bukan pada yang lain.
Kedaulatan KAMMI
Maka dari itu, Muktamar KAMMI di Aceh tidak hanya melakukan regenerasi atas kepemimpinan KAMMI, tetapi juga menegaskan kedaulatan KAMMI atas dirinya sendiri. Daulat KAMMI berarti penghargaan atas konstitusi dan sistem gerakan, dan membuang anasir-anasir gerakan yang ingin meng-ghoshob gerakan KAMMI dengan kepentingannya.
Akhir bulan Maret ini, KAMMI akan menginjak usianya yang ketiga belas. Jika dianalogikan dalam kehidupan manusia, usia tersebut berarti KAMMI telah beranjak pada usia “remaja”. Jika dalam usia ini KAMMI tidak segera mempersiapkan diri untuk menghadapi akil baligh, KAMMI akan gagal sebagai gerakan mahasiswa yang berpihak utuh pada rakyat.
Realitas terus bergerak secara dinamis. Muktamar KAMMI mengantarkan kita pada pertanyaan kritis: mampukah KAMMI menampilkan dirinya secara berdaulat? Insya Allah, tentu harapan itu masih terus ada dengan catatan Muktamar mampu menegaskan posisi sejatinya: KAMMI adalah organisasi yang berdaulat atas dirinya sendiri.
'Ala kulli hal, saya mengucapkan: Selamat bermuktamar, KAMMI. semoga tetap menjadi gerakan yang idealis mewujudkan masyarakat Indonesia yang Islami.